Keterasingan Abu Dzar
19.45
Air mata zuhud membisu di pipi
dalam gemuruh gerincing genta hati
Mengapa air matamu bercucuran?
rupamu seperti upacara kematian
Gurat-gurat zuhud di wajahmu
telah memupus habis semua cerita masa lalu itu
Duhai kekasih, ada apakah?
dengan yakin telah kutekadkan hijrah
Aku jemu dan ingin istirahat
kota membuatku lelah dan semakin menyesakkan dada
Bangsa gurun pun merangkai cerita, sambung-menyambung mengaliri jiwa
berkeluh kesah karena kepergiannya
Mencurah tetes-tetes kerinduan, yang tak bisa tidur karena cintanya
wahai Jundub, di mana dikau berada?
Kekasih pulang memotong pasir berpadang sendirian berkendara malam
temannya lima serigala semata
Tempat-tempat sunyi yang dia singgahi
menggenggam langkahnya tak rela ditinggali
Kekasih tiba, lalu berkata
wahai bumi, wahai pasir. Ambil aku, kafani aku, kurindu dikau jadi kuburku
Negaraku batinku, kekayaanku keyakinanku
jika tiba waktuku, makanan ku tak perlu
Dunia mengusir, aku terbang. Dengan kaki pelbagai negeri tak lebih persinggahan
Aku hidup sendirian. Sementara di pinggiran jutaan manusia bak serigala gelap nan hitam
Mereka limpahi aku harta. " Heh, apa urusanku, harta bukan keluh kesahku."
mereka bujuk aku, kuancam mereka
Mereka ancam aku dengan kematian, kubujuk mereka sampai mulutku berbusa
Mereka tunggangi aku, aku turun. Kutunggangi tekadku, mereka turunkan aku
Kutunggangi nafsu demi kebenaran. Apa bisa mereka?
Kematian kukejar, ia lari. Maut kuburu, ia mengantuk
Pasir-pasir meratapi keterasinganku, " Abu Dzar, jangan kau takut, jangan kau bersedih."
Aku tidak takut. Aku masih muda. Dan aku takkan mati sampai leherku tergorok
Aku telah berikrar kepada sahabat dan kekasihku
harapan-harapannya kan kujadikan pelajaran
Sedang mereka hendaki kemustahilan
mengimingi harta padaku, memamerkan Dina-Dinar memabukkan bagai anggur
Aku tak ingin harta, jiwaku telah kujaga
simpanlah kekayaanmu, kepalaku lebih keras darinya. Semuanya tak kuinginkan
Bebaskan saja langkahku. biarkan aku kelilingi bumi bagai matahari
sirami pohon-pohon taman dengan air mata
Berbisik-bisik pada bunga-bunga
di sanalah kemahku. Di sanalah tempatku
Biarlah angin jadi tembang dan instrumen laguku
sang kekasih pergi lagi
Suaranya menyayup-nyayup di atas debu
tekad-tekad lalu layu bagai kebanggaan yang surut
Tak kudengar lagi sirahnya
terbungkus malam-malam abad yang panjang
Kuncir-kuncir zuhudnya telah terurai
" Kekasih, di manakah pusakamu untuk dinikmati pecinta harta?"
Di mana kaulabuhkan hartamu, selendang yang lapuk oleh malam
Di mana kau tinggalkan tongkatmu? Di mana kau simpan perisaimu?
dalam gemuruh gerincing genta hati
Duhai siapakah dikau
apa yang mengganjal di bilik-bilik hatimu?Mengapa air matamu bercucuran?
rupamu seperti upacara kematian
Gurat-gurat zuhud di wajahmu
telah memupus habis semua cerita masa lalu itu
Duhai kekasih, ada apakah?
dengan yakin telah kutekadkan hijrah
Aku jemu dan ingin istirahat
kota membuatku lelah dan semakin menyesakkan dada
Bangsa gurun pun merangkai cerita, sambung-menyambung mengaliri jiwa
berkeluh kesah karena kepergiannya
Mencurah tetes-tetes kerinduan, yang tak bisa tidur karena cintanya
wahai Jundub, di mana dikau berada?
Kekasih pulang memotong pasir berpadang sendirian berkendara malam
temannya lima serigala semata
Tempat-tempat sunyi yang dia singgahi
menggenggam langkahnya tak rela ditinggali
Kekasih tiba, lalu berkata
wahai bumi, wahai pasir. Ambil aku, kafani aku, kurindu dikau jadi kuburku
Negaraku batinku, kekayaanku keyakinanku
jika tiba waktuku, makanan ku tak perlu
Dunia mengusir, aku terbang. Dengan kaki pelbagai negeri tak lebih persinggahan
Aku hidup sendirian. Sementara di pinggiran jutaan manusia bak serigala gelap nan hitam
Mereka limpahi aku harta. " Heh, apa urusanku, harta bukan keluh kesahku."
mereka bujuk aku, kuancam mereka
Mereka ancam aku dengan kematian, kubujuk mereka sampai mulutku berbusa
Mereka tunggangi aku, aku turun. Kutunggangi tekadku, mereka turunkan aku
Kutunggangi nafsu demi kebenaran. Apa bisa mereka?
Kematian kukejar, ia lari. Maut kuburu, ia mengantuk
Pasir-pasir meratapi keterasinganku, " Abu Dzar, jangan kau takut, jangan kau bersedih."
Aku tidak takut. Aku masih muda. Dan aku takkan mati sampai leherku tergorok
Aku telah berikrar kepada sahabat dan kekasihku
harapan-harapannya kan kujadikan pelajaran
Sedang mereka hendaki kemustahilan
mengimingi harta padaku, memamerkan Dina-Dinar memabukkan bagai anggur
Aku tak ingin harta, jiwaku telah kujaga
simpanlah kekayaanmu, kepalaku lebih keras darinya. Semuanya tak kuinginkan
Bebaskan saja langkahku. biarkan aku kelilingi bumi bagai matahari
sirami pohon-pohon taman dengan air mata
Berbisik-bisik pada bunga-bunga
di sanalah kemahku. Di sanalah tempatku
Biarlah angin jadi tembang dan instrumen laguku
sang kekasih pergi lagi
Suaranya menyayup-nyayup di atas debu
tekad-tekad lalu layu bagai kebanggaan yang surut
Tak kudengar lagi sirahnya
terbungkus malam-malam abad yang panjang
Kuncir-kuncir zuhudnya telah terurai
" Kekasih, di manakah pusakamu untuk dinikmati pecinta harta?"
Di mana kaulabuhkan hartamu, selendang yang lapuk oleh malam
Di mana kau tinggalkan tongkatmu? Di mana kau simpan perisaimu?