Nasi Goreng Dikeroyok Udang Spesial

Pagi yang cerah. Kota Malang masih berselimut kabut putih, bak permata lembut yang jatuh dari rambut terurai milik sang bidadari yang baru bangun pagi. Rinai titik embunnya membilas debu-debu yang menempel di batu, sedangkan gerombolan lumut hijau tampak bermain dengan riangnya di sela-sela pepohonan. Sungguh semua makluk tampak bersyukur dengan kehidupan mereka, karena masih dapat menikmati segarnya embun pagi. Bersyukur karena masih dapat memberikan yang terbaik bagi sesama, bukan cuma sekedar memberi ,tapi memberi terbaik yang bisa diberikan, sebagai ungkapan syukur kepada sang Illahi.

Hari Sabtu ini aku berencana menghabiskan waktu dirumah saja. Santai sambil membaca buku-buku resep masakan. Buku-buku itu tampak masih baru, sampulnya mengkilap tanpa goresan, tak ada lipatan, seperti baru dibeli kemarin, padahal buku itu telah aku beli beberapa bulan yang lalu. Dasar memang aku gak gemar memasak jadi tak pernah ku buka, walau tampaknya buku itu protes keras kepadaku, kenapa mereka diabaikan menganggur tanpa makna, apalah artinya sebuah buku bila sang pencari ilmu membiarkannya terdiam membisu menunggu jaman dimakan waktu, tercerai kalimat demi kalimat, kata demi kata , huruf demi huruf, terpisah dari kumpulan kata-kata bijak sang pujangga, petuah-petuah para ulama, kata-kata menggelora pembakar semangat sang orator. Akhirnya buku itu lapuk seperti debu yang beterbangan membawa seribu makna, seribu berita, seribu cita-cita, dan ribuan lagi manfaat hilang musnah. Lalu sang buku pun hanya tinggal kenangan tak berguna karena rohnya telah terbang entah kemana.

Kubuka lembar demi lembar, kubaca kata demi kata, kupelototi huruf demi huruf, kurasakan gairah buku-buku itu ketika kubaca. Gairah yang membuatku semangat untuk membolak-balik halaman demi halaman. satu buku, dua.., tiga...Kuperhatikan sudah lima macam buku resep yang telah kubaca, ku taruh berantakan di sebelah kakiku yang kuselonjorkan di atas meja, tapi tak ada yang mampir di otakku. Apa karena aku memang benar-benar gak senang memasak. Betapa kasihannya suamiku nanti, betapa merananya anakku nanti, tiap hari makan di restoran, boros lagi...gerutuku. Malu dong sama Om Williem Wongso, Bang Rudi, Pak Bondan, Mas Haryo Pramoe atau Om Bara Pattirajawane, mereka kan cowok tapi masakannya wow...

Aku jadi heran sendiri, kenapa cuma aku dari keluarga besarku yang gak bisa memasak. Padahal keahlian utama yang harus dimiliki seorang wanita adalah memasak. Nenekku adalah masternya memasak, berbagai olahan makanan bisa membuat lidah lupa kalau perut sudah kenyang, ibuku jagonya, kakak-kakaku baik cowok maupun cewek masakannya mak nyus..
Lebih-lebih kalau pas lebaran tiba, mereka membuat resep baru dengan keroyokan, jadi tiap lebaran kita pasti punya resep baru yang disimpan di buku resep keluarga. Sedang aku karena gak ahli memasak, tugasku cuma incip-incip jadi masih ada gunanya, ternyata lidahku juga pintar membedakan mana masakan yang mak nyus mana yang tidak, selain jago makan tentunya.

Dari dulu aku memang enggan masuk dapur, bagiku dapur laksana sebuah kotak besar dengan pajangan benda-benda aneh aneka bentuk ,yang menempel di dinding-dindingnya ,yang tampak menyeringai menatap tiap tamu yang datang. Belum lagi bumbu-bumbu masaknya bagaikan makluk aneh yang terdampar didalam toples kecil ,yang terpajang di rak dapur, seakan ingin meloncat keluar, menerkam siapa saja yang berani mendekat, ditambah lagi aroma yang mereka keluarkan membuat bulu kudukku berdiri.

Dari SMP kegiatanku memang banyak diluar rumah daripada di dapur. Aku ikut kegiatan extra kulikuler seperti pecinta alam, masuk tim basket, bahkan aku menjadi andalannya. Tim basketku waktu itu menjadi salah satu tim paling top se Karesidenan Surakarta, belum lagi ikut bela diri Aikido, bagiku aikido mempunyai gerakan yang anggun, kayak yang dipertontonkan oleh Sang Master Aikido Steven Seagal di film-filmnya. Jadi maklum saja kalau yang namanya dapur dan uga rampenya itu asing bagiku.

Di SMU kegiatanku tambah seabrek, tapi waktu itu ada peristiwa yang kalau kuingat, aku bisa senyum-senyum sendiri. Saat itu tak sedikit teman-temanku yang naksir kepadaku, walau tongkronganku tak seanggun Srikandi, tak seramping Luna Maya, tapi tak sebahenol bu RT Sarmili. Jangan salah, kalau cuma jadi finalis putri indonesia tampaknya bukan hal yang berat bagiku he..he.. nyombong, apalagi aku putri solo, kan Miss indonesia ada yang dari solo, itu istrinya Ibrahim alias Baim.

Waktu itu yang paling tergila-gila padaku adalah Tono, anak biologi dua, teman sekelasku.
Dengar namanya saja sudah kelihatan nDesonya, dia itu termasuk tampang-tampang yang YUSI ( UC = Under Contruction), karena tampang yang menurut kami para cewek sangat pas-pasan banget, bahkan kalau mau jujur tampangnya dibawah pas, makanya dia termasuk tampang YUSI. Dengan rambut ikal tak terawat, kulit hitam tak mengkilat, tinggi badan rata-rata cewek, tapi dia punya kelebihan yang sangat luar biasa yaitu rasa PEDE yang diatas rata-rata. Itu yang membuatku kagum, bukan kagum pada Tono Yusi , tapi kagum pada ibunya, dulu nyidam apa kok punya anak kayak Tono yang gak punya rasa malu kayak gitu.

Gimana tak punya malu, lha wong tiap pagi dia duduk-duduk didepan gerbang sekolah menanti kedatanganku.
" Hai ,Cantik.." Sapanya , ketika aku memasuki gerbang sekolah, hal ini hampir dilakukan tiap pagi, padahal menengok pun aku tidak.

Puncak ketidak maluannya si Tono Yusi ini adalah ketika didalam kelas sedang ada pelajaran Matematika, saat itu ada beberapa soal di papan tulis. Aku menjawab salah satu soal itu. Tak ada angin, tak ada guntur apalagi angin puting beliung, Tono maju mendekatiku, kupikir mau menjawab soal, tapi dia malah jongkok didepanku, sambil mengeluarkan sekuntum bunga mawar yang terbungkus plastik bening dari balik punggungnya.

" Oh dewiku, dewi penakluk hatiku. Sekuntum bunga mawar ini mewakili kegalauan hatiku, maukah kau di hari kasih sayang ini memberikan secuil hatimu padaku, kepada Romeo yang sedang galau mananti cintamu.." katanya.

Sontak seisi kelas serasa mau meledak oleh gelak tawa anak-anak, Wajahku merah padam bagai udang galah dimasak asam manis pedas, apalagi kulihat Pak Agus, guru matematikaku yang biasanya kaku, pendiam tiba-tiba tertawa terpingkal-pingkal. Saat itu Tono kumaki habis-habisan, tapi dasar Tono Yusi , dia malah cengengesan merasa meraih kemenangan, balik kebelakang melakukan tos dengan teman-temannya.

Sore ini kota Malang sedang di guyur hujan lumayan lebat, rencanaku untuk hangout tertunda. Kulihat jalanan mulai tergenang air, biasa kota malang kalau mendapat limpahan air dari langit agak lebat saja, saluran air pada meluap ke jalanan, sistem drainasenya kali yang kurang lancar. Anak-anak kecil malah menemukan permainan yang mengasyikkan di tengah hujan begini, bermain bola diatas genangan air, nama juga arema, arek malang, dimanapun ya tetap bola mainannya.

" Ayo mbak, main bal-balan !" Ajak salah satu anak itu.
" Yo, mene-mene ae ! " Jawabku, dengan bahasa malang ynag kaku.
Aku memang baru setahun tinggal dimalang, maklum baru semester dua, tapi sedikit banyak sudah tahu bahasa walikan khas arek malang, seperti;
Orip (= piro)..nawak (= kawan)..itreng (= ngerti)..kolem (= melok)..laham (= mahal)..
hamur ( = murah).
Tapi yang paling ku ingat adalah kata isilup (= pulisi) , karena waktu itu pas lagi boncengan sepeda berdua, tiba-tiba temanku bilang " Aduh..enek isilup !" aku cuma bengong tak tahu maksudnya, kemudian temanku belok lewat gang yang tersebar banyak di kota malang, bukan kami tak punya sim, cuma gak mau ribet buang waktu, mendingan cari jalan pintas saja.

Karena hujan tak kunjung reda-reda juga, akhirnya kuputuskan untuk tidur-tiduran di kamar, sambil dengerin lagu-lagu favoritku lewat radio.

Hari minggu pagi yang benar-benar cerah, setelah seharian diguyur hujan lebat, tampaknya udara jadi bersih bebas polusi. Begitulah Allah menciptakan sesuatu pasti ada maksudnya, pasti ada manfaatnya, cuma manusia tak banyak bersyukur atas ciptaannya. Semua diukur dengan ukuran akalnya, padahal kapasitas akal manusia itu itu cuma berapa, gak akan bisa menganalisa, mengurai semua ciptaannya, lha wong akal mereka itu juga ciptaan-Nya.

Seperti rencana kemarin yang telah aku susun. Pagi ini aku mau belanja ke pasar besar malang,belanja sayuran dan uga rampenya untuk keperluanku memasak nanti. Ya.., benar hari ini aku mau belajar memasak lagi.

Ketika kulewati jalan di seputaran Stadion Gajayana, kulihat banyak warga yang melakukan aktifitas rutinnya di hari minggu, ada yang sedang jalan sehat , seperti beberapa pasang manula yang lagi berjalan di seputar stadion, ada yang lagi bersepeda, main bola. Kulihat ada pemandangan yang membuatku agak risih, beberapa pasangan muda-mudi malah asyik mojok dibawah pohon, apa mereka gak malu sama opa-opa dan oma-oma yang giat berjogging mencari keringat biar sehat. Coba kalau mereka mau berpikir, kalau mereka sakit-sakitan, tidak sehat, mana bisa mereka pacaran. Kalau belum kejadian memang gak peduli, coba kalau sakit beneran soalnya yang namanya menyesal itu biasanya belakangan.

Sampai di pasar besar ternyata sudah ramai. Sepeda motorku ku parkir dekat tempat mangkal abang becak, kulihat kaos mereka aneka warna, maklum habis pemilu. Aku mulai pilih-pilih sayuran dan ikan, sebenarnya gak pilih-pilih, karena aku gak biasa belanja, jadi ya cuma pilih, ambil, dan bayar, selesai. Tidak seperti ibu separoh baya di sampingku ini, tampaknya sudah jagonya belanja, tangannya cekatan memilih-milih sayuran, sambil asyik menawar harga.
" Mosok semono, cak! ra kurang ta !" Katanya.
" Lagi musim udan, dadi yo rodo larang " Balas penjual
" Yowis sewu mangatos ! " Timpal ibu itu
" Rong ewu, wis murah " Balas penjual lagi.

Karena belanjaanku sudah selesai, kutinggalkan mereka berdua berdiplomasi, adu argumen, menyakinkan lawan. Ini bukan soal besar kecilnya harga yang mereka perebutkan, tapi kepuasan hati, puas karena telah berhasil menawar harga yang tak seberapa itu, tapi juga puas karena bisa membujuk sang pembeli dengan harga yang ditawarkan.

Belanja di pasar tradisional memang mengasyikkan, suasananya benar-brnar hidup, interaksi sosialnya berjalan. Penjual dan pembeli akrab, walau kadang bersitegang soal tawar menawar harga, tapi itulah seninya belanja di pasar tradisional.

Tidak seperti di pertokoan mewah, di mal-mal, semua harga pas, harga kangkung pas, harga wortel pas, harga cabe pas, harga jeruk pas. Kalau belanja kita seperti robot pabrik, ambil barang, taruh barang di troly, bawa ke kasir tanpa ada suara, membisu bagai robot. Sayangnya sekarang kota malang mulai dibanjiri pertokoan dan mal, semoga nanti generasi mendatang tidak kehilangan suasana pasar tradisional yang mengasyikkan.

Jam tujuh seperempat pagi, aku sampai di rumah. Dengan semangat reformasi '98, aku langsung menuju dapur. Kubuka satu per satu belanjaanku, kutata diatas meja, kupilah-pilah lalu ku cuci satu demi satu, bak seorang koki sungguhan kupakai celemek bergambar strowbery yang masih tampak baru, karena memang jarang di pakai.

Lalu kusisihkan bahan-bahan tersebut , al;
- Cabe rawit 3 buah
- Cabe merah besar 2 buah
- Bawang merah 4 siung
- Bawang putih 4 siung
-Telor 1 butir
- Brokoli
- kol
- Udang segar
- Garam
- Saos tomat

Kemudian, cabe rawit, cabe merah besar, bawang merah dan putih, ditambah garam aku lembutkan diatas cobek batu sampai halus, tanpa aku kasih penyedap rasa alias vetsin, karena kata ibu kuang baik untuk kesehatan.

Wajan aku panaskan, setelah dikasih minyak sayur sedikit dan ditambah margarin. Sreng...minyak diwajan berteriak keras ketika bumbu halus kumasukkan ke dalamnya, ku aduk-aduk sebentar biar beraroma lalu telur pun masuk, berturut-turut brokoli dan kol , kemudian udang yang sudah matang.

Aroma menyengat hidungku, menghadirkan sensasi yang luar biasa, setelah kurasa cukup, nasi setengah piring pun giliran berkumpul dengan bumbu yang telah matang, ku orak-arik, diaduk-aduk dengan perlahan, sesekali kuambil sejumput tangan, kurasakan, ehm..lumayan mak nyus. Setelah matang kutaruh dipiring ceper agak lebar. Ups..selesai.

Kupandangi nasi gorengku dengan penuh kerinduan, rindu akan olahan masakanku sendiri. Walau cuma nasi goreng, tapi ini sebuah permulaan, sebuah loncatan, yang nanti akan menjadi awal dari kesuksesan.


Oh, lupa . Aku belum memberinya nama untuk nasi gorengku, karena sebagai tradisi keluarga, kalau punya masakan baru harus diberi nama. Karena nasi gorengku komposisinya lebih banyak udangnya daripada nasinya, maka aku beri nama " NASI GORENG DIKEROYOK UDANG SPESIAL"











Label: | edit post
0 Responses
Name :
Web URL :
Message :
:) :( :D :p :(( :)) :x